KERAJAAN TARUMANEGARA DAN TULANG BAWANG
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Hirobbil Alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberi rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis mampu dan dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Pendidikan Sejarah Indonesia tentang KERAJAAN TARUMANEGARA DAN TULANG
BAWANG
Penulisan makalah ini dapat selesai dengan baik berkat bantuan bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak. Semoga budi baik mereka di terima Allah SWT
sebagai amal ibadah dan akan diberi balasan berupa pahala yang berlipat ganda.
Dan penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari pembaca guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan khususnya untuk teman-teman di sekolah dan masyarakat pada umumnya.
Haurgeulis,
Desember 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.
Rumusan masalah............................................................................................. 1
C.
Tujuan............................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kerajaan Tarumanegara ................................................................................... 2
B.
Kerajaan Tulang Bawang.................................................................................. 6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................................... 12
B.
Saran................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang
dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal
tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi
Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan
Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir
Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Berangkat dari sejarah bangsa
Indonesia yang didahului oleh masa keajaan. Kerajaan Hindu merupakan pelopor
berdirinya Negara hindu di Indonesia. Banyak kerajaan-kerajaan hindu di
Indonesia. Sejak masuknya budaya hindu ini Zaman Prasejarah mulai berganti
menjadi Zaman Sejarah. Kerajaan hindu di Indonesia mempunyai sejarahnya
masing-masing, seperti Tarumanegara dan Tulang Bawang.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Siapakah pendiri Kerajaan Tarumanegara dan
Tulang Bawang?
2.
Dimana letak lokasi Kerajaan Tarumanegara dan
Tulang Bawang?
3.
Siapa tokoh terkenal Kerajaan Tarumanegara dan
Tulang Bawang?
4.
Apa Peninggalan Sejarah Kerajaan Tarumanegara
dan Tulang Bawang?
5.
Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara dan
Tulang Bawang?
6.
Berapa lama usian Kerajaan Tarumanegara dan
Tulang Bawang?
C.
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
Umum : Untuk mengetahui tentang Kerajaan Tarumanegara
dan Tulang Bawang
2.
Khusus : Untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Sejarah Indonesia mengenai materi tentang Kerajaan-Kerajaan pada masa
Hindu-Budha di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan Tarumanegara
1.
Sejarah
berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Terumanegara di bangun oleh raja Jayasinghawarman ketika
memimpin pelarian keluarga kerajaan dan berhasil meloloskan diri dari musuh
yang terus menerus menyerang kerajaan Salakanagara. Di pengasingan, tahun 358
M, Jayasinghawarman mendirikan kerajaan baru di tepi Sungai Citarum, di
Kabupaten Lebak Banten dan diberi nama Tarumanegara. Nama Tarumanegara diambil
dari nama tanaman yang bernama tarum, yaitu tanaman yang dipakai untuk ramuan
pewarna benang tenunan dan pengawet kain yang banyak sekali terdapat di tempat
ini. Tanaman tarum tumbuh di sekitar Sungai Citarum. Selain untuk pengawet
kain, tanaman ini merupakan komoditas ekspor dan merupakan devisa pemasukan
terbesar bagi Kerajaan Tarumanegara.
Raja Jayasinghawarman berkuasa dari tahun 358-382 M. Setelah raja
mencapai usia lanjut, raja mengundurkan diri untuk menjalani kehidupan
kepanditaan. Sebagai pertapa, Jayasinghawarman bergelar Rajaresi. Nama dan
gelar raja menjadi Maharesi Rajadiraja Guru Jayasinghawarman.
Kerajaan Tarumanegara banyak meninggalkan Prasasti, sayangnya tidak
satupun yang memakai angka tahun. Untuk memastikan kapan Tarumanegara berdiri
terpaksa para ahli berusaha mencari sumber lain. Dan usahanya tidak sia – sia.
Setelahnya ke cina untuk mempelajari hubungan cina dengan Indonesia di masa
lampau mereka menemukan naskah – naskah hubungan kerajaan Indonesia dengan
kerajaan Cina menyebutnya Tolomo. Menurut catatan tersebut, kerajan Tolomo
mengirimkan utusan ke cina pada tahun 528 M, 538 M, 665 M, 666M. sehingga dapat
di simpulkan Tarumanegara berdiri sejak sekitar abad ke V dan ke VI.
2.
Letak
Dan Wilayah Kekuasaan
Sebelum mengetahui letak kraton kerajaan Tarumanegara, dari temuan tempat
prasasti itu dapat diperkirakan luas kerajaan Tarumanegara. Prasasti Ciaruon
atau prasasti Ciareteun, ditemukan di daerah Cimpea, Bogor. Kemudian prasasti
kebun kopi yang ditemukan di daerah kampong hilir kecamatan cibung-bulang.
Kemudian prasasti kebun jambu, ditemukan di daerah bukit koleangkak 30 km
sebelah barat bogor. Kemudian prasasti tugu ditemukan di daerah Tugu, clincing,
Jakarta Utara.
Dari temuan letak prasasti tersebut dapat diketahui daerah yang masuk
dalam wilayah kerajaan Tarumanegara. Wilayah kerajaan Tarumanegara meliputi
pesisir Jakarta hingga pedalaman di kaki gunung Gede (lihat gambar 1.). Selain
itu dari prasasti dapat diketahui fungsi dari suatu daerah. Pada prasasti Tugu
yang dikatakan bahwa pembuatan prasasti itu untuk para brahmana yang telah
membuat terusan pada kali candrabhaga yaitu kali Gomati. Sehingga dapat
dikatakan bahwa wilayah dtemukannya prasasti Tugu merupakan daerah para
Brahmana. Para Brahmana kerajaan Tarumanegara tinggal di daerah pesisir pantai.
Dapat dikatakan mereka datang ke Nusantara dengan para pedagang India.
Dapat di duga pula pada prasasti kebun jambu yang ditemukan di dekat
sungai Cisadane, di bukit Koleangkak, Banten selatan. Dalam prasasti itu dapat
ditafsirka sebagai prasasti penaklukan suatu wilayah. Dalam prasasti itu
dikatakan bahwa raja Purnawarman merupakan raja yang disegani oleh
musuh-musuhnya. Senantiasa menggempur kota-kota musuhnya.
3.
Tokoh-tokoh
/ Raja-Raja Di Kerajaan Tarumanegara
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja.
Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan
menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang
sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua
bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada
menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara
berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi
lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang
sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke
Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari
Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanegara:
1.
Jayasingawarman 358-382 M
2.
Dharmayawarman 382-395 M
3.
Purnawarman 395-434 M
4.
Wisnuwarman 434-455 M
5.
Indrawarman 455-515 M
6.
Candrawarman 515-535 M
7.
Suryawarman 535-561 M
8.
Kertawarman 561-628 M
9.
Sudhawarman 628-639 M
10.
Hariwangsawarman 639-640 M
11.
Nagajayawarman 640-666 M
12.
Linggawarman 666-669 MC.
4.
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti
Ciaruteun
Salinan gambar
prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara
to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.
Prasasti
Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara
sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan
metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta
sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
2. Prasasti
Jambu
Prasasti Jambu
atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan
jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa
Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya
memuji pemerintahan raja Mulawarman.
3. Prasasti
Kebonkopi
Prasasti
Kebonkopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang
menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang
disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.
4. Prasasti Muara
Cianten
Prasasti Muara
Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat
dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.
5. Prasasti
Pasir awi
Prasasti Pasir
Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum
dapat dibaca.
6. Prasasti
Cidanghiyang
Prasasti
Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai
Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru
ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian
raja Purnawarman.
7. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di
Museum Nasional. Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing
Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar
dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain,
sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.
Hal-hal yang
dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
Prasasti Tugu
menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai
Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut
menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka.
Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai
Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
Prasasti Tugu
juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka
tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama
dengan bulan Februari dan April.
Prasasti Tugu
yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai
dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.
5.
Keruntuhan
Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan
Tarumanegara diperkirakan runtuh pada sekitar abad ke-7 Masehi. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa setelah abad ke-7, berita mengenai kerajaan ini
tidak pernah terdengar lagi baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri .
Para ahli berpendapat bahwa runtuhnya Kerajaan Tarumanegara kemungkinan besar
disebabkan karena adanya tekanan dari Kerajaan Sriwijaya yang terus melakukan
ekspansi wilayah.
B. Kerajaan Tulang Bawang
1.
Pendiri
Kerajaan Tulangbawang
Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di
Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai
kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII,
yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya
menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"),
suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih
merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada
Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan
Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat
kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa)
kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya),
nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai
kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh
penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang
memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin
Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum
diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan
ini.
Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di
Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan
ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan
kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno,
sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama
Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar
dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang (Tulang
Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama
I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang
disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia
sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu
dengan istilah Tola P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari ejaan
Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi
so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing, yang
merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So,
maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapun atau selapon
disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi
Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.
2.
Letak
Kerajaan Tulang Bawang
Kerajaan Tulang Bawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di
Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai
kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII,
yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya
menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"),
suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih
merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada
Abad ke VII M.[1] Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan
Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat
kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa)
kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya),
nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai
kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh
penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang
memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin
Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum
diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan
ini.
3.
Tokoh
/ Raja Kerajaan Tulangbawang
1)
Raja
Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA HAJI Tahun 623 M.
2)
Raja
Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar MINAK KEMALA BUMI.
4.
Peninggalan
Kerajaan Tulangbawang
Pusat kekuasaan tersebut
meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan
candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di
antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu
yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa
Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota
Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang
berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan -
peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya
kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti
halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari
situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh
berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing
panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M
sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar
pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan
Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya
di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya
mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau
Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai
pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu
itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka
berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Prasasti
Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur".
Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa
Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa
Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan
Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai
Sriwijaya.
Orang pertama yang menganalisis
prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja
pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap
"Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang kemudian
berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera
pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian
barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan. Hingga tahun
2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam,
negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.
Temuan papan perahu kuno di situs
Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang
yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada
tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang
bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and
lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku
digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading
dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang
di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di
Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam
lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum
ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik
gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs
Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5
Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif
di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia
Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di
wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana
(Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung
Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu
sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan
pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi
Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah
(Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo
dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode
carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan
pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs
Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro,
1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota
Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs
Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs
Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah
mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi
salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman
kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di
kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran
yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota
kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo
dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan
pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.
5.
Runtuhnya
Kerajaan Tulang Bawang
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di
sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit
Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun
683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam
tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk
menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya,
diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan
Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya),
nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar.
Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula
sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk
mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan
Kerajaan Tulang Bawang.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau
gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa
kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang
tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada
sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan
budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi
nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari apa yang telah kami sampikan tadi, dapat di simpulkan pengaruh
kebudayaan India di Indonesia tidak hanya menunjuk pada perkembangan ajaran
Hindu – Budha, tetapi juga pada aspek lain missal aspek politik, ekonomi,
sosial budaya dan lain sebaginya
Dalam proses akulturasi, Indonesia sangat berperan aktif. Hal ini
terlihat dari peninggalan – peninggalan yang tidak sepenuhnya merupakan hasil jiplakan
kebudayaan India
Meskipun corak dan sifat kebudayaan di pengaruhi India. Namun dalam
perkembangannya Indonesia mampu menghasilkan kebudayaan kepribadian sendiri
B. Saran
Dari keberadaanya kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Tulang Bawang di
wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa syukur
tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang tulus
serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan
memelihara budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam
menjamin kelestariannya berarti kita ikut mengangkat derajat dan jati diri
bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama menjaga dan memelihara
peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II- Jaman Kuno (1 M- 1500 M). Jakarta: Balai Pustaka
Widiarto, Tri dan Esther Arianti.2007. Masa Pengaruh Hindu Budha
di Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press
Y, Yongky. 2003. Menyingkap Misteri Ratu Laut Selatan- Banyu
Bening Gelang Kencana. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
http://blogriswanto.blogspot.com/2011/04/makalah-kerajaan-tarumanegara.html
http://dianaaulia11ips3-7.blogspot.com/2013/11/makalah-kerajaan-tarumanegara.html
http://sadadakhmad.blogspot.com/2010/04/kerajaan-tulang-bawang.html
https://dokumen-makalah.blogspot.com/2016/10/makalah-kerajaan-tulang-bawang-kerajaan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tulang_Bawang
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
add Whatshapp : +85515373217 ^_~