Friday, December 21, 2018

MAKALAH KERAJAAN TARUMANEGARA DAN TULANG BAWANG


KERAJAAN TARUMANEGARA DAN TULANG BAWANG

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Hirobbil Alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis mampu dan dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Sejarah Indonesia tentang KERAJAAN TARUMANEGARA DAN TULANG BAWANG
Penulisan makalah ini dapat selesai dengan baik berkat bantuan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Semoga budi baik mereka di terima Allah SWT sebagai amal ibadah dan akan diberi balasan berupa pahala yang berlipat ganda. Dan penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan khususnya untuk teman-teman di sekolah dan masyarakat pada umumnya.


Haurgeulis,   Desember 2018

Penyusun




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................   i
DAFTAR ISI...........................................................................................................   ii

BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang..................................................................................................   1
B.       Rumusan masalah.............................................................................................   1
C.       Tujuan...............................................................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN
A.      Kerajaan Tarumanegara ...................................................................................   2
B.       Kerajaan Tulang Bawang..................................................................................   6
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan.......................................................................................................   12
B.       Saran.................................................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................   13



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti IndiaTiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Berangkat dari sejarah bangsa Indonesia yang didahului oleh masa keajaan. Kerajaan Hindu merupakan pelopor berdirinya Negara hindu di Indonesia. Banyak kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejak masuknya budaya hindu ini Zaman Prasejarah mulai berganti menjadi Zaman Sejarah. Kerajaan hindu di Indonesia mempunyai sejarahnya masing-masing, seperti Tarumanegara dan Tulang Bawang.

B.       Rumusan Masalah
1.        Siapakah pendiri Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?
2.        Dimana letak lokasi Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?
3.        Siapa tokoh terkenal Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?
4.        Apa Peninggalan Sejarah Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?
5.        Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?
6.        Berapa lama usian Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang?

C.      Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1.        Umum : Untuk mengetahui tentang Kerajaan Tarumanegara dan Tulang Bawang
2.        Khusus : Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia mengenai materi tentang Kerajaan-Kerajaan pada masa Hindu-Budha di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerajaan Tarumanegara
1.      Sejarah berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Terumanegara di bangun oleh raja Jayasinghawarman ketika memimpin pelarian keluarga kerajaan dan berhasil meloloskan diri dari musuh yang terus menerus menyerang kerajaan Salakanagara. Di pengasingan, tahun 358 M, Jayasinghawarman mendirikan kerajaan baru di tepi Sungai Citarum, di Kabupaten Lebak Banten dan diberi nama Tarumanegara. Nama Tarumanegara diambil dari nama tanaman yang bernama tarum, yaitu tanaman yang dipakai untuk ramuan pewarna benang tenunan dan pengawet kain yang banyak sekali terdapat di tempat ini. Tanaman tarum tumbuh di sekitar Sungai Citarum. Selain untuk pengawet kain, tanaman ini merupakan komoditas ekspor dan merupakan devisa pemasukan terbesar bagi Kerajaan Tarumanegara.
Raja Jayasinghawarman berkuasa dari tahun 358-382 M. Setelah raja mencapai usia lanjut, raja mengundurkan diri untuk menjalani kehidupan kepanditaan. Sebagai pertapa, Jayasinghawarman bergelar Rajaresi. Nama dan gelar raja menjadi Maharesi Rajadiraja Guru Jayasinghawarman.
Kerajaan Tarumanegara banyak meninggalkan Prasasti, sayangnya tidak satupun yang memakai angka tahun. Untuk memastikan kapan Tarumanegara berdiri terpaksa para ahli berusaha mencari sumber lain. Dan usahanya tidak sia – sia. Setelahnya ke cina untuk mempelajari hubungan cina dengan Indonesia di masa lampau mereka menemukan naskah – naskah hubungan kerajaan Indonesia dengan kerajaan Cina menyebutnya Tolomo. Menurut catatan tersebut, kerajan Tolomo mengirimkan utusan ke cina pada tahun 528 M, 538 M, 665 M, 666M. sehingga dapat di simpulkan Tarumanegara berdiri sejak sekitar abad ke V dan ke VI.
2.      Letak Dan Wilayah Kekuasaan
Sebelum mengetahui letak kraton kerajaan Tarumanegara, dari temuan tempat prasasti itu dapat diperkirakan luas kerajaan Tarumanegara. Prasasti Ciaruon atau prasasti Ciareteun, ditemukan di daerah Cimpea, Bogor. Kemudian prasasti kebun kopi yang ditemukan di daerah kampong hilir kecamatan cibung-bulang. Kemudian prasasti kebun jambu, ditemukan di daerah bukit koleangkak 30 km sebelah barat bogor. Kemudian prasasti tugu ditemukan di daerah Tugu, clincing, Jakarta Utara.
Dari temuan letak prasasti tersebut dapat diketahui daerah yang masuk dalam wilayah kerajaan Tarumanegara. Wilayah kerajaan Tarumanegara meliputi pesisir Jakarta hingga pedalaman di kaki gunung Gede (lihat gambar 1.). Selain itu dari prasasti dapat diketahui fungsi dari suatu daerah. Pada prasasti Tugu yang dikatakan bahwa pembuatan prasasti itu untuk para brahmana yang telah membuat terusan pada kali candrabhaga yaitu kali Gomati. Sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah dtemukannya prasasti Tugu merupakan daerah para Brahmana. Para Brahmana kerajaan Tarumanegara tinggal di daerah pesisir pantai. Dapat dikatakan mereka datang ke Nusantara dengan para pedagang India.
Dapat di duga pula pada prasasti kebun jambu yang ditemukan di dekat sungai Cisadane, di bukit Koleangkak, Banten selatan. Dalam prasasti itu dapat ditafsirka sebagai prasasti penaklukan suatu wilayah. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja Purnawarman merupakan raja yang disegani oleh musuh-musuhnya. Senantiasa menggempur kota-kota musuhnya.
3.      Tokoh-tokoh / Raja-Raja Di Kerajaan Tarumanegara
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanegara:
1.              Jayasingawarman 358-382 M
2.              Dharmayawarman 382-395 M
3.              Purnawarman 395-434 M
4.              Wisnuwarman 434-455 M
5.              Indrawarman 455-515 M
6.              Candrawarman 515-535 M
7.              Suryawarman 535-561 M
8.              Kertawarman 561-628 M
9.              Sudhawarman 628-639 M
10.          Hariwangsawarman 639-640 M
11.          Nagajayawarman 640-666 M
12.          Linggawarman 666-669 MC.

4.      Peninggalan  Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti Ciaruteun
Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
2. Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.
3. Prasasti Kebonkopi
Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.
4. Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.
5. Prasasti Pasir awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
6. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
7. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di Museum Nasional. Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.
Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.
Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

5.      Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan runtuh pada sekitar abad ke-7 Masehi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa setelah abad ke-7, berita mengenai kerajaan ini tidak pernah terdengar lagi baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri . Para ahli berpendapat bahwa runtuhnya Kerajaan Tarumanegara kemungkinan besar disebabkan karena adanya tekanan dari Kerajaan Sriwijaya yang terus melakukan ekspansi wilayah.

B. Kerajaan Tulang Bawang
1.      Pendiri Kerajaan Tulangbawang
Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.

Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilah Tola P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapun atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.
2.      Letak Kerajaan Tulang Bawang
Kerajaan Tulang Bawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M.[1] Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.
3.      Tokoh / Raja Kerajaan Tulangbawang
1)      Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA HAJI Tahun 623 M.
2)      Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar MINAK KEMALA BUMI.

4.      Peninggalan Kerajaan Tulangbawang
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.

Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.

Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.
Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.

5.      Runtuhnya Kerajaan Tulang Bawang
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari apa yang telah kami sampikan tadi, dapat di simpulkan pengaruh kebudayaan India di Indonesia tidak hanya menunjuk pada perkembangan ajaran Hindu – Budha, tetapi juga pada aspek lain missal aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebaginya
Dalam proses akulturasi, Indonesia sangat berperan aktif. Hal ini terlihat dari peninggalan – peninggalan yang tidak sepenuhnya merupakan hasil jiplakan kebudayaan India
Meskipun corak dan sifat kebudayaan di pengaruhi India. Namun dalam perkembangannya Indonesia mampu menghasilkan kebudayaan kepribadian sendiri

B. Saran
Dari keberadaanya kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Tulang Bawang di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti kita ikut mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama menjaga dan memelihara peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua




DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II- Jaman Kuno (1 M- 1500 M). Jakarta: Balai Pustaka
Widiarto, Tri dan Esther Arianti.2007. Masa Pengaruh Hindu Budha di Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press
Y, Yongky. 2003. Menyingkap Misteri Ratu Laut Selatan- Banyu Bening Gelang Kencana. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
http://blogriswanto.blogspot.com/2011/04/makalah-kerajaan-tarumanegara.html
http://dianaaulia11ips3-7.blogspot.com/2013/11/makalah-kerajaan-tarumanegara.html
http://sadadakhmad.blogspot.com/2010/04/kerajaan-tulang-bawang.html
https://dokumen-makalah.blogspot.com/2016/10/makalah-kerajaan-tulang-bawang-kerajaan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tulang_Bawang

1 comment:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    ReplyDelete